Arsip Tag: Bahasa Arab

Download [Audio] Kajian “Rahasia-rahasia Sholat (Gerakan dan Bacaan yang di ulang-ulang)” Oleh Ustadz Abdul Barr

Bismillahirrahmaanirrahiim

Allhamdulillah,berikut adalah rekaman kajian yang di bawakan oleh Ustadz Abdul Barr Hafidzahullah (Alumnus Darul Hadits – Yaman) dengan tema : “Rahasia-rahasia Sholat (Gerakan dan Bacaan yang di ulang-ulang)”

Kajian dilaksanakan pada Hari Sabtu 28 Juni 2014,Jam 10.30 – Selesai

Bertempat di Masjid Al I’tsham,Belakang Gedung BNI 46 – Jakarta Pusat

Download Kajian melalui link di bawah ini dengan cara klik kanan save link as/copy link location bagi pengguna download manager

Mudah-mudahan Bermanfaat…

Judul Size Durasi Link Download
Rahasia-rahasia Sholat 6,25 Mb 35 Menit [Download]

Link Alternatif :
Apabila kesulitan Download melalui link di atas silahkan download melalui link Archive.org di bawah ini

Rahasia-rahasia Sholat – [Download]

Sumber : ilmoe.com

Nun Taukid beserta Qaedah Pembahasannya

Nun taukid adalah nun yang  masuk pada fiil mudhori’ dan fiil amr untuk menguatkan makna.

Ketika ia memasuki fi’il mudhari’ atau pun fi’il amr maka fi’il yang dimasukinya akan berubah menjadi mabni fathah sebagaimana contoh yang akan kita bahas.

Namun sebelumnya perlu kita ketahui, apa saja macam-macam nun taukid.

Macam-macam Nun Taukid

Nun taukid memiliki dua macam, yaitu:

1. Nun Taukid Tsaqilah (نون التوكيد الثقيلة)

Nun taukid tsaqilah berharakat fathah dan dibaca tasydid.

Cara menggabungkannya dengan fiil mudlori’:

يَكْتُبُ + نَّ = يَكْتُبَنَّ

Cara menggabungkannya dengan fiil amr:

اكْتُبْ + نَّ = اكْتُبَنَّ

2. Nun Taukid Khafifah (نون التوكيد الخفيفة)

Nun taukid khafifah dibaca sukun.

Cara menggabungkannya dengan mudlori:

يَكْتُبُ + نْ = يَكْتُبَنْ

Cara menggabungkannya dengan fiil amr:

اكْتُبْ + نْ = اكْتُبَنْ

Salah satu ayat al-Quran yang mengumpulkan keduanya bersamaan adalah Yusuf: 32 sebagai berikut:

لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوْنًا مِّنَ الصّٰغِرِيْنَ

“… maka sungguh dia akan benar-benar dipenjara dan ia benar-benar menjadi orang yang hina”.

(Penulisan nun taukid khafifah pada ‘وَلَيَكُوْنًا’ boleh menggunakan alif bersama tanwin sebagaimana ayat di atas (madzhab ‘ulama Kuffah). Boleh juga menulisnya dengan nun sukun sebagaimana pendapat ‘ulama Basrah.)

Adapun fiil amr boleh di-taukid-i  dengan nun taukid secara mutlak.

:نحو

اجْتَهِدَنَّ / اجْتَهَدَنْ

تَعَلَّمَنَّ / تَعَلَّمَنْ

Sedangkan fiil madhi tidak boleh sama sekali kemasukan nun taukid. Meskipun begitu  beberapa ulama’ nahwu berpendapat, “Jika ada fi’il madli secara lafadh namun memiliki makna mustaqbal maka terkadang ia bisa di-taukidi dengan salah satu kedua nun taukid meskipun ini jarang terjadi”.

Salah satunya adalah sebuah hadits berikut:

فَإِمَّا أَدْرَكَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الدَّجَّالَ

Maka adakalanya salah satu dari kalian akan benar-benar bertemu Dajjal

Sedangkan makna yang dimaksud adalam hadits tersebut adalah

فَإِمَّا يُدْرِكَنَّ

Dan yang terakhir untuk fi’il mudlari’, penambahan nun taukid pada fiil ini harus melihat kondisi yang menyertainya terlebih dahulu.

Karena nantinya akan ada fiil mudlari’ yang wajib bersama nun taukid, ada yang boleh bersama nun taukid dan ada yang tidak boleh bersama nun taukid.

Baca lebih lanjut: Nun Taukid beserta Qaedah Pembahasannya

Fiil mudhori’ yang wajib bersama nun taukid

Fiil mudhri’ wajib bersama nun taukid ketika mutsbat (positif/bukan manfiy), bermakna mustaqbal (masa depan) dan hadir untuk menjawab qasam menggunakan lam jawab yang tidak terpisah dengan suatu pemisah.

:نحو

وَتَاللّٰهِ لَأَكِيْدَنَّ أَصْنٰمَكُمْ (الأنبياء: ٥٧)

Dan demi Allah sungguh aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu...”

Namun jika jawab qasam tidak ada taukid di dalamnya maka ia men-taqdir-kan huruf nafi. Contohnya yaitu pada ayat:

قَالُوْا تَاللّٰهِ تَفْتَؤُا تَذْكُرُ يُوْسُفَ (يوسف: ٨٥)

Mereka berkata, “Demi Allah, engkau tidak henti-hentinya mengingat Yusuf… .”

Pada ayat di atas taqdir-nya adalah “لَا تَفْتَؤُا”.

Atas dasar ini pula lah bila ada seseorang mengatakan:

وَاللّٰهِ أَفْعَلُ

Maka ia berdosa bila melakukan, karena perkataan di atas artinya, “Demi Allah, saya tidak melakukan”.

Sedangkan jika seseorang tersebut menginginkan makna positif (itsbat) maka ia harus berkata:

وَاللّٰهِ لَأَفْعُلَنَّ

Yang artinya, “Demi Allah, saya sungguh akan melakukan”. Dengan demikian orang tersebut akan berdosa bila tidak melakukan.

Fiil Mudhori’ yang boleh bersama nun taukid

Fiil mudlori’ di-taukidi (dikuatkan) dengan nun taukid secara jawaz (boleh) pada empat tempat, yakni:

  1. Jatuh setelah salah satu adawat ath-thalab (أدوات الطلب) yang terdiri dari lam amr, la an-nahiyah, adawat al-istifham, tamanni, tarajji, ‘ardl, dan tahdlidl. Contohnya secara urut:

:نحو

لَتَجْتَهِدَنَّ

Sungguh kamu benar-benar rajin

لَا تَكْسَلَنَّ

Sungguh janganlah kamu malas!

هَلْ تَفْعَلَنَّ الْخَيْرَ؟

Apakah kamu benar-benar melakukan kebaikan?

لَيْتَكَ تَجِدَنَّ

Andaikan kamu benar-benar menemukannya

لَعَلَّكَ تَفُوْزَنَّ

Semoga kamu akan benar-benar beruntung

أَلَا تَزُوْرَنَّ الْمَدَارِسَ الْوَطَنِيَّةَ

Sebaiknya kamu benar-benar mengunjungi sekolah-sekolah negeri

هَلَّا يَرْعَوِيَنَّ الْغَاوِيْ عَنْ غَيِّهِ

Seharusnya orang yang tersesat benar-benar sadar dari kesesatannya

  1. Jatuh sebagai syarath setelah adat syarath bersama ma az-zaidah.

Jika adat syarath menggunakan “إِنْ” maka memberi taukid dalam hal ini mendekati wajib sehingga beberapa ulama ahli Nahwu berpendapat bahwa ia wajib.

Begitu pula contoh-contoh pada al-Quran keseluruhan menggunakan taukid.

:نحو

وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۚ (الأعراف: ٢٠٠)

Dan jika syaitan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah

فًإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا (مريم: ٢٦)

Jika engkau melihat seseorang … .

Dalam kasus ini berhukum langka jika ia tidak disertai taukid seperti contoh dalam syair berikut:

يَا صَاحِ, إِمَّا تَجِدْنِيْ غَيْرَ ذِيْ جِدَةٍ    فَمَا التَّخَلِّيْ عَنِ الْإِخْوَانِ مِنْ شِيْمِيْ

Wahai teman, jika kamu menemukanku orang yang tidak kaya, maka pertemanan tidak sepi dari budi pekertiku

Adapun jika adat syarath menggunakan selain “إِنْ” maka menguatkan fiil mudlari’ dengan nun taukid menjadi sedikit (jarang). Seperti contoh berikut:

حَيْثُمَا تَكُوْنَنَّ آتِك َ. مَتَى تُسَافِرَنَّ أُسَافِرْ

Sekiranya engkau aku datangi, maka ketika engkau pergi maka aku pergi.

  1. Fiil mudlari’ manfi dengan la “لَا” dengan syarat menjadi jawab dari qasam.

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَآصَّةً ۖ (الأنفال: ٢٥)

Dan takutlah kamu pada siksaan yang sungguh tidak hanya menimpa orang-orang dzalim di antara kamu

  1. Fiil mudlori’ jatuh setelah ma az-zaidah dan tidak didahului adat syarat.

:نحو

بِعَيْنِ مَا أَرَيَنَّكَ

Segeralah sehingga aku seakan benar-benar melihatmu

بِجَهْدٍ مَّا تَبْلُغَنَّ

Bersungguh-sungguhlah sehingga kamu benar-benar sukses

بِاَلْمٍ مَّا تُخْتَنِنَّهْ / تُخْتَنَنَّ

Dengan rasa sakit kamu benar-benar dikhitan

Fiil Mudlari’ yang Tidak Boleh Bersama Nun Taukid

Fiil mudlari’ tidak boleh di-taukid-i dengan nun taukid dalam empat tempat, yakni:

  1. Fiil mudlari’ tidak didahului dengan sesuatu yang memperbolehkannya beersama nun taukid, seperti qasam, adawat ath-thalab, nafiy, adawat asy-syarat, dan ma az-zaidah.
  2. Fiil mudlari’ yang manfiy dan jatuh menjadi jawabnya qasam.

:نحو

وَاللّٰهِ لَا أَنْقُضُ عَهْدَ أُمَّتِيْ

Demi Allah aku tidak melanggar janji ummatku

Dan tidak ada bedanya antara yang huruf nafiy-nya terucap (seperti contoh di atas) atau pun di-taqdir-kan (sebagaimana contoh yang telah disebutkan pada Yusuf: 85), keduanya tidak boleh bersasma nun taukid.

  1. Fiil mudlori’ yang menjadi hal.

:نحو

يَمِيْنًا لَأُبْغِضُ كُلَّ امْرِئٍ   يُزَخْرِفُ قَوْلًا وَلَا يَفْعَلُ

Aku bersumpah bahwa aku sungguh membenci setiap orang yang mana menghias kata-kata dan ia tidak melakukan(nya)

  1. Fiil mudlari’ terpisah dari lam jawab qasam

:نحو

وَلَئِنْ مُّتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لَإِلَى اللّٰهِ تُحْشَرُوْنَ (آل عمران: ١٥٨)

Dan sungguh, sekiranya kamu mati atau gugur, pastilah kepada Allah kamu dikumpulkan

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰى (الضحى: ٥)

Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga kamu puas/rela.

Hukum-Hukum Nun Taukid dan Fiil yang di-taukid-i dengannya

Hukum-hukum yang menyertai nun beserta fiil yang di-taukid-i dengannya adalah:

Yang pertama, nun taukid khafifah tidak boleh jatuh setelah dlamir tatsniyah ataupun nun jama’ niswah.

Maka dari itu, contoh berikut tidak boleh diucapkan (di bawah ini contoh yang salah)

وَاللّٰهِ لَتَذْهَبَانِنْ  (dlamir tastniyah)

لَا تَذْهَبْنَنْ  (nun jama’ niswah)

Adapun setelah wawu jama’ dan ya’ muannats mukhathabah maka boleh, contohnya:

هَلْ تَذْهَبُوْنَنْ؟

!لَا تَذْهَبُنْ

!اذْهَبُنْ

هَلْ تَذْهَبِيْنَنْ؟

!لَا تَذْهَبِنْ

!اذْهَبِنْ

Yang kedua, ketika nun taukid tsaqilah jatuh setalah dlamir tatsniyah maka alif tetap dan nun dibaca kasrah. Terbacanya kasrah pada nun taukid ini memeliki alasa agar serupa dengan nun tatsniyah pada isim.

:نحو

اكْتُبَانِّ

لِيَكْتُبَانِّ

lalu jika fiil-nya berupa fiil mudlari’ yang dibaca rafa’ maka nun rafa’ dihilangkan agar tidak terjadi tiga nun yang berderetan.

:نحو

هَلْ تَكْتُبَانِّ؟

(alif tatsniyah tidak dibuang meski terjadi pertemuan antara dua huruf mati, karena kemudahan pengucapan alif bersama huruf mati setelahnya)

Yang ketiga, ketika nun taukid jatuh setelah wawu jama’ yang huruf sebelumnya dibaca dlummah dan ya’ muannats mukhathabah yang huruf sebelumnya dibaca kasrah maka wawu  dan ya’ dibuang untuk menghindari bertemunya dua huruf mati. Sedangkan harakat sebelumnya masih tetap seperti semula.

:نحو

اُكْتُبُوْا + نَّ = اُكْتُبُنَّ

اكْتُبُوْا + نْ = اكْتُبُنْ

اكْتُبِيْ + نَّ = اكْتُبِنَّ

اكْتُبِيْ + نْ = اكْتُبِنْ

لِيَكْتُبُوْا + نَّ = لِيَكْتُبُنَّ

لِيَكْتُبُوْا + نْ = لِيَكْتُبُنْ

لِيَكْتُبِيْ + نَّ = لِيَكْتُبِنَّ

لِيَكْتُبِيْ + نْ = لِيَكْتُبِنْ

Adapun fiil mudlori’ yang dibaca rafa’ maka nun rafa’nya juga perlu dibuang terlebih dahulu.

:نحو

هَلْ تَذْهَبُوْنَ + نَّ = هَلْ تَذْهَبُنَّ

هَلْ تَذْهَبُوْنَ + نْ = هَلْ تَذْهَبُنْ

هَلْ تَذْهَبِيْنَ + نَّ = هَلْ تَذْهَبِنَّ

هَلْ تَذْهَبِيْنَ + نْ = هَلْ تَذْهَبِنْ

Yang keempat, ketika nun taukid jatuh setelah wawu jama’ atau ya’ mukhathabbah yang huruf sebelumnya dibaca fathah maka wawu atau ya’-nya tetap, akan tetapi wawu berubah menjadi berharakat dlummah dan ya’  berharakat kasrah dengan membiarkan huruf sebelum dlamir tetap dibaca fathah.

:نحو

هَلْ تَخْشَوْنَ + نَّ => هَلْ تَخْشَوْنَنَّ => هَلْ تَخْشَوْنَّ => هَلْ تَخْشَوُنَّ

هَلْ تَخْشَوْنَ + نْ => هَلْ تَخْشَوْنَنْ => هَلْ تَخْشَوْنْ => هَلْ تَخْشَوُنْ

اخْشَوْا + نَّ => اخْشَوْنَّ => اخْشَوُنَّ

اخْشَوْا + نْ => اخْشَوْنْ => اخْشَوُنْ

هَلْ تَرْضَيْنَ + نَّ => هَلْ تَرْضَيْنَنَّ => هَلْ تَرْضَيْنَّ => هَلْ تَرْضَيِنَّ

هَلْ تَرْضَيْنَ + نْ => هَلْ تَرْضَيْنَنْ => هَلْ تَرْضَيْنْ => هَلْ تَرْضَيِنْ

ارْضَيْ + نَّ => ارْضَيْنَّ => ارْضَيِنَّ

ارْضَيْ + نْ => ارْضَيْنْ => ارْضَيِنْ

Catatan:

:نحو

  • wawu jama’ dan ya’ mukhathabah pada dasarnya dibaca sukun, namun untuk menghindari bertemunya dua huruf mati maka keduanya diberi harakat.
  • nun taukid tsaqilah terdiri dari dua huruf. Yang mana nun yang pertama dibaca sukun dan yang kedua berharakat fathah. Walaupun dalam tulisan terkesan hanya satu huruf, huruf yang bertasydid sebenarnya terdiri dari dua huruf.

Yang kelima, ketika fiil memiliki fa’il dlamir mustatir atau isim dhahir dan bertemu nun taukid maka dibaca fathah huruf terakhirnya.

هَلْ يَكْتُبَنَّ / هَلْ يَكْتُبَنْ

Yang keenam, ketika fiil mu’tall akhir dibuang huruf illatnya (baik fiil amr mu’tall akhir atau fiil mudlari’ mu’tall akhir yang dibaca jazm) bertemu nun taukid maka huruf illatnya dikembalikan dan dibaca fathah.

:نحو

ادْعُ + نَّ = ادْعُوَنَّ

لَا تَدْعُ + نَّ = لَا تَدْعُوَنَّ

امْشِ + نَّ = امْشِيَنَّ

لَا تَمْشِ + نَّ = لَا تَمْشِيَنَّ

اخْشَ + نَّ = اخْشَيَنَّ

لِيَخْشَ + نَّ = لِيَخْشَيَنَّ

ادْعُ + نْ = ادْعُوَنْ

لَا تَدْعُ + نْ = لَا تَدْعُوَنْ

امْشِ + نْ = امْشِيَنْ

لَا تَمْشِ + نْ = لَا تَمْشِيَنْ

اخْشَ + نْ = اخْشَيَنْ

لِيَخْشَ + نْ = لِيَخْشَيَنْ

Yang ketujuh, ketika nun jama’ niswah beserta nun taukid tsaqilah maka wajib dipisah dengan alif di antara keduanya. Hal ini agar nun-nun tersebut tidak berkumpul. Dalam hal ini nun taukid dibaca kasrah dengan alasan diserupakan dengan nun taukid yang bertemu alif tastniyah.

:نحو

هَلْ يَكْتُبْنَ + نَّ = هَلْ يَكْتُبْنَانِّ

اكْتُبْنَ + نَّ = اكْتُبْنَانِّ

Adapun nun taukid khafifah tidak bisa sama sekali bertemu nun jama’ niswah sebagaima sudah dibahas sebelumnya.

Yang kedelapan, jika nun taukid khafifah bertemu huruf yang dibaca sukun setelahnya maka nun tersebut harus dibuang secepat mungkin agar tidak terjadi pertemuan kedua huruf mati.

:نحو

اكْرِمَنْ + الْكَرِيْمَ = اكْرِمَ الْكَرِيْمَ

Boleh mengganti nun taukid khafifah dengan alif ketika waqaf. Sehingga dalam contoh ‘اكْتُبَنْ’, seseorang boleh mengucapkannya dengan ‘اكْتُبَا’ ketika waqaf. Di antara contohnya terdapat syair ber-bahr thawil:

وَإِيَّاكَ وَالْمَيْتَاتِ, لَا تَقْرَبَنَّهَا     وَلَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ: وَاللّٰهَ فَاعْبُدَا

Takutlah (memakan) bangkai-bangkai, sungguh janganlah kamu mendekatinya. Dan janganlah kamu menyembah Syaitan. Dan sungguh sembahlah hanya pada Allah.

Demikian Nun taukid beserta serba-serbi pembahasannya semoga bermanfaat.

Bagikan ini:

Terkait

Mari Muroja’ah Yuk !

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ

Bismillah

Ada beberapa hal yang mesti dikoreksi dalam pengucapan kata dalam bahasa Arab, dan ini jamak terjadi.

Contoh, sebagian orang berujar, “Para asatidz dan asatidzah…” Yang dimaksud pada kata asatidzah di situ adalah guru-guru perempuan.

Sebab bahasa arabnya guru lelaki memang ustadz (أستاذ). Sedang guru perempuan tinggal nambahi ta` marbuthoh menjadi ustadzah (أستاذة).

Bahasa arabnya guru-guru lelaki (jamak), memang asatidz (أساتيذ). Maka, sebagian orang bermaksud menyebut guru-guru perempuan (jamak), asatidz ditambahi ta` marbuthoh menjadi asatidzah (أساتيذة). Ini salah,

Padahal yang bener untuk jamaknya ustadzah itu pake jamak muannats salim; ustadzat (أستاذات). Pada jamak taksir, memang ada asatidzah. Tapi huruf ya` setelah ta` dibuang, sehingga menjadi أساتذة, bukan أساتيذة. Dan jamak ini juga tetap untuk mudzakkar, bukan muannats.

Sekian, semoga bermanfaat, semoga kita senantiasa diberikan semangat untuk belajar bahasa Arab. Semoga kita semua diberikan Taufiq…

Akhukum

AAA ( Abrar Abu Andalusy )

Bahasa Penduduk Surga, Bukan Bahasa Arab?

Benarkah bahasa penduduk surga itu bahasa arab? Dan penduduk neraka berbahasa selain arab?

Mohon pecerahannya.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, yang menyatakan,

أحبوا العرب لثلاث لأني عربي ، والقرآن عربي ، وكلام أهل الجنة عربي

“Cintailah arab karena 3 hal, (1) karena saya orang arab, (2) karena al-Quran berbahasa arab, dan (3) bahasa penduduk surga adalah bahasa arab.”

Hadis ini diriwayatkan at-Thabrani dalam al-Ausath, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Baihaqi dalam Syuabul Iman. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Alla bin Amr, yang oleh ad-Dzahabi dinilai matruk. Dan beliau menyebut hadis ini sebagai hadis palsu. Kemudian Abu Hatim menilainya pendusta. Hingga Imam al-Albani mennyebutkan bahwa ulama sepakat hadis ini palsu. (Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, 1/293).

Apa perbedaan ma dan madza istifham.

بسم الله الرحمن الرحيم

السؤال : ما الفرق بين ما استفهام و ماذا استفهام…؟ الجواب  إن لفظ “ماذا ” أصله ما + ذا تركّب (ما) مع (ذا) فتكونان بمنزلة الاسم الواحد وإعراب (ماذا) على حسب موقعه فى الجملة

  Pertama :

Apabila lafadz ما +ذا dijadikan satu kesatuan, maka ‘Irabnya tergantung posisinya dalam suatu kalimat.

مثلا: ماذا قال لك …؟

Apa yang dia katakan kepada mu…?

Perhatikan Contoh ‘Irab ketika madza berada pada posisi rafa’ sebagai mubtada :

ماذا : اسم استفهام في محل رفع مبتدأ

قال لك : خبره من جملة فعلية

إذا استقلّ (ما) عن (ذا), فلفظ (ما) كان استفهاما و إعرابه حسب موقع فى الجملة.و(ذا) إما أن يكون ما موصولا، إشارتا، أو زائدة

Kedua :

Apabila lafadz Maa dan Dzaa dianggap terpisah, maka lafadz maa adalah kata tanya (Istifham) dengan ‘Irab sesuai kedudukanya, sementara Lafadz dzaa adalah Isim Maushul atau Isim Isyarah atau zaaidah. Perhatikan contoh ‘irab berikut :

مثلا: مَاذَا أَتَى بِكَ…؟

أي مَا الَّذِي أَتَى بِكَ

ما : اسم استفهام في محل رفع مبتدأ

ذا : اسم موصول مبني على السكون في محل رفع خبر

ماذا القلم…؟

أي ما هذا القلم أو أن تجعل ذا حرف زائدة :

إعرابه، مبني على السكون لا محل له من الإعراب

Demikian sekilas tentang perbedaan Maa Istifham dan Madza Istifham. Contoh dalam Al-Qur’an:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ. البقرة ٢١٥ “

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

يَسْئَلُونَكَ : فعل مضارع مرفوع والواو فاعل والكاف مفعول به ماذا : ما اسم استفهام مبتدأ ذا اسم موصول خبره والجملة مفعول به مقدم ويجوز اعتبارها كلمة واحدة وإعرابها اسم استفهام مفعول به مقدم يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ. البقرة ٢١٩

Terjemah Arti:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. Tafsirweb

Abrar Abu Andalusy

Tambahan Faedah ⬇️⬇️⬇️